Pulmonologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berkembang di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Perkembangan cabang ilmu ini dirintis oleh dokter-dokter Indonesia yang bergerak dalam penemuan dan pengobatan penyakit tuberkulosis. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930an memulai upaya pemberantasan penyakit tuberkulosis paru yang jumlahnya banyak di Indonesia. Pada waktu itu sudah ada dokter-dokter Indonesia yang dihasilkan dari pendidikan dokter sebelumnya. Sebagian dari mereka dilatih mendeteksi penyakit ini oleh para ahli radiologi dengan menggunakan pemeriksaan doorlichting atau pemeriksaan sinar tembus.
Pemeriksaan doorlichting membantu penegakan diagnosis tuberkulosis paru sehingga pengobatan dapat dimulai. Selanjutnya para dokter inilah yang mengobati pasien serta melakukan pemantauan pengobatan secara klinis, laboratoris, dan radiologis. Dengan jumlah pasien yang amat banyak, tidak heran jika para dokter ini menjadi amat berpengalaman dengan cepat, sehingga setelah beberapa tahun mereka sudah mendapat kemampuan yang memadai sebagai dokter ahli. Mereka kemudian menyebut diri sebagai Longarts atau Dokter Paru (long berarti paru, arts berarti dokter). Penamaan diri ini tidak berlebihan, mengingat, selain ahli tuberkulosis, mereka juga mampu menemukan berbagai penyakit paru lain, bahkan hampir semua penyakit di dalam rongga toraks.
Pada masa tersebut, pemerintah Belanda telah pula mendirikan pusat-pusat pelayanan tuberkulosis di berbagai tempat, berupa sanatorium untuk perawatan pasien, terutama yang penyakitnya sudah parah. Di samping sanatorium, juga dibangun consultatie bureau voor longlijders (CB), yakni tempat berobat bagi pasien yang tidak dirawat.
Consultatie bureau voor longlijders ini berlokasi di rumah sakit di kota-kota besar sebagai unit rawat jalan yang dilengkapi dengan alat sinar tembus. Bagi sebagian pasien yang membutuhkan perawatan, di rumah-rumah sakit ini tersedia bangsal rawat yang terpisah dari bangsal perawatan penyakit lain.
Di CB dan bangsal perawatan inilah para dokter paru yang pada awalnya belajar dengan bimbingan radiolog, kemudian secara mandiri mengembangkan kemampuan masing-masing serta selanjutnya mendidik dokter-dokter yang lebih muda, sehingga semakin lama semakin bertambahlah jumlah dokter paru di berbagai kota di Indonesia.

fk unair dulu2

   Ket: Foto FK UNAIR Tempoe Doeloe.


Pada masa ini dikenal tokoh dr.R. Soeroso di Medan, dr. Kapitan di Surabaya, dan dr. Oey Tjin Siang di Jakarta, yang telah mendidik dokter paru di rumah sakit umum di kota tersebut. Dari generasi berikutnya tercatat antara lain dr. Ilyas H. Datuk Batuah, yang belajar di Surabaya, lalu bertugas di Rumah Sakit Tentara di Jogja, kemudian menetap di Bukit Tinggi; serta dr. Afloes dan dr. Rasmin Rasjid di Centraale Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ, sekarang RSUPN Cipto Mangunkusumo).
Pada tahun 1957, para longarts seluruh Indonesia berkumpul di Lawang, suatu kota di dekat Malang, Jawa Timur memutuskan:

  • Ilmu penyakit paru (Pulmonologi) harus dikembangkan sebagai cabang ilmu kedokteran sebagaimana cabang-cabang ilmu kedokteran lain.
  • Pulmonologi merupakan cabang ilmu yang mandiri di institusi pendidikan kedokteran.
  • Selepas pertemuan di Lawang tersebut, para peserta kembali ke kota asal masing-masing dan segera menjalankan kedua keputusan tersebut. Di Medan, segera terbentuk Bagian Pulmonologi di Universitas Sumatra Utara di bawah pimpinan dr. R. Soeroso; demikian pula di Bukit Tinggi, dibentuk Bagian Pulmonologi di Universitas Andalas, yang dipimpin oleh dr. Ilyas H. Datuk Batuah. Di Universitas Airlangga, Surabaya, didirikan pula Bagian Pulmonologi yang dipimpin oleh dr. Kapitan. Belakangan ketiga dokter tersebut diangkat sebagai Guru Besar di bidang Ilmu Penyakit Pulmonologi, bahkan Prof. R. Soeroso dan Prof. Ilyas H. Datuk Batuah sempat memangku jabatan dekan. 


    soetomo 2

    Ket: Foto RSUD Dr.Soetomo Tempoe Doeloe.


    Pulmonologi dinyatakan resmi sebagai bagian tersendiri dikukuhkan dengan Surat Keputusan Dekan no. 1599/II.A/FK/1978 tanggal 1 September 1978 di Jakarta. Dokter Rasmin Rasjid adalah Kepala Bagian pertama yang memimpin Bagian Pulmonologi/RS Persahabatan. Banyak kemajuan yang dicapai dalam masa kepemimpinannya, antara lain terbentuknya Program Pendidikan Dokter Spesialis untuk Program Studi Ilmu Penyakit Pulmonologi. Pembentukan Program Studi ini amat erat dengan berdirinya Ikatan Dokter Paru Indonesia pada tahun 1973. Pada tahun tersebut, dr. Rasmin Rasjid yang pada pertemuan para longarts di Lawang tahun 1957 bertindak sebagai Sekretaris, kembali berinisiatif mengumpulkan para dokter paru seluruh Indonesia, untuk bergabung dalam suatu organisasi profesi. Langkah ke arah ini dimulai dengan pertemuan tokoh-tokoh dokter pulmonologi dari beberapa kota, yang menghasilkan konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulan yang akan dibentuk tersebut. Pertemuan ini disusul dengan pertemuan yang lebih besar, yakni Konferensi Kerja (Konker) pertama di Jakarta, disusul dengan Kongres pertama Ikatan Dokter Pulmonologi Indonesia (IDPI). Dokter Rasmin Rasjid dan dr. Erwin Peetosutan dari Bagian Paru ditunjuk menjadi Ketua Umum pertama dan Sekretaris Umum Ikatan Dokter Paru Indonesia.

    Berdirinya IDPI membawa pengaruh yang bermakna kepada perkembangan
    pendidikan dokter paru di Indonesia. Bersama perhimpunan dokter spesialis lain, IDPI diundang dan hadir pada rapat-rapat Consortium for Health Sciences Direktorat Jenderal. Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Republik Indonesia untuk mulai menata pelaksanaan pendidikan dokter spesialis di Indonesia pada tahun 1978. Hasil pertemuan beberapa hari di Hotel Sahid ini ialah terbitnya Katalog Program Pendidikan Dokter Spesialis. Menurut Katalog ini, pendidikan dokter spesialis diselenggarakan oleh Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia, dilaksanakan oleh staf dokter spesialis yang terkait dengan bidang studi masing-masing, dipimpin oleh seorang Ketua Program Studi (KPS). Dengan terbitnya Katalog ini, maka pendidikan dokter spesialis pulmonologi di Indonesia secara resmi diakui. Dari Pulmonologi ke Ilmu Kedokteran Respirasi


    Pada tahun 1983, terjadi peristiwa yang amat penting, yakni pengukuhan Guru
    Besar pertama di bidang Pulmonologi, Prof. dr. Rasmin Rasjid. Pada tahun1987 beliau memasuki masa pensiun dan meninggal dunia pada tahun 1989. Dokter Hadiarto yang pada tahun 1987 menjabat Ketua Program Studi Pulmonologi diangkat menjadi Kepala Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), memimpin bagian ini selama 11 tahun, dalam 3 masa jabatan. Hadiarto adalah orang pertama yang mengemukakan konsep ilmu kedokteran respirasi, sebagai pengembangan bidang kajian bagi dokter spesialis paru. Ide ini dituangkan menjadi usul perubahan nama Bagian Pulmonologi menjadi Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Saat ini Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi telah mempunyai 6 pusat yaitu Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Sebelas Maret (Solo), Universitas Airlangga (Surabaya), dan Universitas Brawijaya (Malang). Selain itu saat ini telah lahir pusat pendidikan lainnya seperti Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Hasanuddin (Makasar), Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh), Universitas Riau (Pekan Baru) serta Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin). Hal ini dimaksudkan agar penyebaran lulusan dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi di seluruh Indonesia dapat lebih merata, selain dari bertambahnya minat dokter untuk mengikuti pendidikan ini. Ujian akhir diselenggarakan oleh Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Indonesia sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan melalui kerjasama dengan pusat pendidikan dan PDPI dengan cara bergiliran tempat serta pelaksanaannya di pusat-pusat pendidikan setiap 2 kali setahun.